Empat Alasan Laskar Pelangi Seharusnya Mengalahkan Ayat-ayat Cinta
By: Brahmanto Anindito
Saya pikir keputusan memutar film di kisaran Lebaran, saat orang-orang repot mudik sehingga tak ada waktu buat hal-hal remeh seperti menonton, adalah sebuah kesalahan. Tapi ternyata, sayalah yang salah. Laskar Pelangi meledak. Saya sampai harus balik kucing dua kali karena lihat antriannya yang tidak masuk akal (dibanding waktu tayangnya yang tinggal setengah jam lagi). Untung, saat datang ketiga kalinya, saya bisa dapat tiket. Itupun tinggal dua biji. Telat sedikit pasti amblas disikat orang.
Film yang diproduksi Miles Films dan Mizan Production ini berdasarkan kisah nyata penulis novelnya, Andrea Hirata. Ini cerita tentang persahabatan 10 siswa SD Muhammadiyah Gantong di Belitung, yakni Ikal (tokoh Andrea Hirata sendiri yang diperankan Zulfanny), Mahar (diperankan Verry S. Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M. Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri).
Anak-anak itu punya keistimewaan masing-masing. Keunikan mereka berwarna-warni, seperti pelangi. Ditambah semangat juang mereka yang liat untuk tetap sekolah, jadilah Bu Guru Muslimah (Cut Mini) menjuluki kesepuluh anak yang menjadi satu-satunya murid SD Muhammadiyah Gantong itu laskar. Laskar Pelangi.
“Laskar Pelangi merupakan film tercepat yang pernah saya buat,” aku Riri Riza. Tapi jangan salah, hasilnya maksimal. Saya bahkan memprediksi film yang ditulis Salman Aristo, Riri Riza dan Mira Lesmana ini akan lebih laris ketimbang film Ayat-ayat Cinta. Yakin 100%!
Bagaimana kalau ternyata salah? Ah, bukan masalah, itu bukan pertama kalinya prediksi saya meleset. Namanya juga manusia. Namun setidaknya dengarkan dulu kenapa saya sampai berani memprediksi bahwa penonton Laskar Pelangi bakal mengungguli Ayat-ayat Cinta.
PERTAMA: Ekranisasi Novel Sukses Biasanya Juga Sukses
Tidak selalu, tapi biasanya yang berangkat dari sesuatu yang best seller cenderung box office. Di kancah internasional, lihat saja fenomena ekranisasi seri James Bond, The Lord of the Ring, Harry Potter, Da Vinci Code, dst. yang rata-rata sukses.
Di Indonesia pun trennya serupa. Data di tabel ini saya peroleh dari berbagai sumber. Angka dalam ribuan (kecuali tahun), dan sepertinya merupakan pembulatan. Sebab, angka persisnya sulit sekali diperoleh.
Judul Karya | Eksemplar Novel | Penonton Film | Tahun Rilis Film |
Ca Bau Kan | 30 | 150 | 2002 |
Eiffel I’m in Love | 70 | 4.000 | 2003 |
Jomblo | 50 | 610 | 2006 |
Cintapuccino | 200 | 350 | 2007 |
Ayat-ayat Cinta | 600 | 3.000 | 2008 |
Laskar Pelangi | 500 | (misteri) | 2008 |
Angka-angka itu merupakan prediksi dasar mengapa film Laskar Pelangi berhak meraih jutaan penonton. Tapi bisakah mengalahkan perolehan film Ayat-ayat Cinta? Bukankah titik awalnya (penjualan novelnya) sudah kalah? Memang, tapi belum tentu filmnya kalah. Dari perbandingan penjualan novel dan film di atas, kita tahu persentase kenaikannya tidak sama antara satu karya dengan karya lainnya.
KEDUA: Novelis dan Sineas Saling Dukung
Tidak seperti Ayat-ayat Cinta yang “digandoli” kekurangpuasan novelisnya, film Laskar Pelangi ini merupakan sinergi antara sineas dan novelisnya. Ketika sinergi tercipta, mereka akan saling mempromosikan. Riri mempromosikan (menyanjung lewat media) novel Andrea. Dan Andrea pun mempromosikan film ini.
Pembaca novel biasanya suka protes setiap ada fenomena ekranisasi novel kesayangannya. Inti protes tersebut hampir selalu mengungkit-ungkit imajinasi (pribadinya) yang saat membaca ternyata tidak sama dengan visualisasi film.
Sejak kapan imajinasi setiap orang bisa disamakan? Sejak kapan novel bisa dibandingkan dengan film? Tidak tahukah dia betapa novel itu media tanpa batas (cuma masalah kertas) sementara film dibatasi durasi? Pura-pura lupakah dia kalau novel itu mementingkan kata-kata, sedangkan film justru tidak boleh banyak kata?
Nah, dengan sinergi sineas-novelis, protes-protes klise di atas bisa dengan mudah dikonter: “Penulis novelnya saja merasa puas banget nonton filmnya, masa’ kamu yang bukan siapa-siapa heboh sendiri, pakai protes-protes segala.” Kredibilitas film pun kian kokoh di hadapan calon konsumennya.
Sejak praproduksi sampai filmnya muncul di bioskop, memang tak henti-hentinya Andrea memuji visi sang sutradara. “Ini salah satu film yang paling mempesona yang pernah kusaksikan dalam hidupku,” kata Andrea. Lulusan S2 di Sorbonne, Prancis, itu malah mengaku sampai menangis saat menonton (ceritanya sendiri).
KETIGA: Secara Umum Filmnya Berkualitas
Tapi Andrea tidak sedang narsis. Yah, mungkin sedikit narsis, namun baik novel maupun filmnya memang mengharukan. Saya sendiri memperhatikan beberapa penonton di bioskop mengusap matanya setelah adegan-adegan tertentu.
Barangkali Anda tidak menangis. Tapi minimal mata Anda akan berkaca-kaca. Atau dada tiba-tiba terasa sesak, naik-turun, terbawa emosi menyaksikan perjuangan bocah-bocah lugu itu.
Meskipun begitu, Laskar Pelangi bukan sejenis film cengeng. Ini mengharukan yang inspiring, dan kadang-kadang lucu. Namun lucunya juga bukan lucu slapstik. Kocak, mengharukan, menginspirasi. Menurut saya, itulah salah satu kombinasi bumbu yang efektif untuk melariskan film.
Pemain-pemain (yang kebanyakan lokal Belitung) itu pun berdialog dengan natural, bahkan lebih natural dan luwes ketimbang pemain-pemain profesional di Ayat-ayat Cinta. Salut buat sang sutradara!
Mengarahkan anak-anak yang menonton bioskop pun konon tak pernah untuk bisa berakting seprima itu saya rasa bukan pekerjaan mudah, sekalipun bagi sutradara berjam terbang tinggi. Saya belum pernah benar-benar mengagumi karya-karya Riri Riza. Gie pun tak mampu menggetarkan saya. Namun Laskar Pelangi ini, oh ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar